Gubernur Aceh soal Potensi Migas di 4 Pulau Berpolemik: Setara Andaman

Potensi Migas di Perbatasan Aceh-Sumut: Gubernur Buka Suara

Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, angkat bicara terkait polemik kepemilikan empat pulau yang berada di perbatasan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Ia menyoroti aspek yang selama ini belum banyak disorot dalam wacana publik: potensi sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi (migas) yang terkandung di sekitar keempat pulau tersebut. Menurut Gubernur, potensi migas di kawasan tersebut sangat besar, bahkan diklaim setara dengan potensi di wilayah Kepulauan Andaman, India.

“Kalau kita bicara energi, kawasan itu memiliki potensi migas yang bisa menopang energi nasional di masa depan. Jangan anggap sepele, wilayah itu bisa seperti Andaman,” ujar Marzuki dalam sebuah pernyataan di Banda Aceh, yang langsung menyulut diskusi baru soal urgensi kepemilikan wilayah secara administratif maupun legal.

Empat Pulau yang Dipersoalkan

Daftar Pulau yang Masuk Wilayah Sengketa

Pulau-pulau yang tengah menjadi sorotan adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Tokong Belanda. Keempat pulau ini selama bertahun-tahun diklaim sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil. Namun, dalam peta Kemendagri terbaru, pulau-pulau itu justru dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Polemik kepemilikan keempat pulau ini telah menimbulkan kegelisahan di kalangan warga Aceh Singkil, terutama karena selama ini masyarakat setempat merasa memiliki kedekatan historis, geografis, dan budaya dengan keempat pulau tersebut. Bahkan, nelayan-nelayan dari Aceh Singkil dikabarkan secara rutin memanfaatkan kawasan laut di sekitar pulau itu untuk mencari nafkah.

Reaksi Pemerintah Aceh

Pemerintah Aceh sendiri sudah menyatakan sikap tegas untuk memperjuangkan agar pulau-pulau tersebut tetap berada di bawah administrasi Aceh. Achmad Marzuki menekankan bahwa pihaknya akan menempuh jalur hukum dan diplomasi administratif untuk menyelesaikan sengketa ini.

“Kita tidak akan tinggal diam. Pemerintah Aceh akan mengkaji seluruh dokumen sejarah dan batas wilayah yang sah, termasuk SK Gubernur, Keputusan Menteri, hingga catatan historis lainnya,” kata Marzuki.

Potensi Migas Setara Andaman: Apa Artinya?

Mengenal Blok Migas di Wilayah Andaman

Kepulauan Andaman merupakan salah satu wilayah strategis di Samudera Hindia yang memiliki cadangan migas sangat besar. Sejumlah perusahaan migas internasional telah lama mengeksplorasi kawasan itu, seperti ONGC India dan Premier Oil. Potensi hidrokarbonnya dinilai sebagai salah satu yang paling menjanjikan di Asia Selatan, baik untuk minyak maupun gas alam cair (LNG).

Gubernur Marzuki menyebutkan bahwa berdasarkan data awal dan analisis geologi, empat pulau yang disengketakan memiliki kontur dan struktur geologi serupa dengan wilayah Andaman. Hal ini memunculkan hipotesis bahwa cadangan migas yang tersimpan di kawasan tersebut bisa mencapai nilai miliaran dolar AS.

“Ini bukan sekadar perebutan administratif. Kita bicara soal masa depan energi, kedaulatan sumber daya alam, dan potensi ekonomi Aceh,” jelasnya.

Implikasi Ekonomi bagi Aceh

Apabila klaim Pemerintah Aceh benar dan wilayah tersebut memang kaya migas, maka ini akan menjadi sumber pendapatan baru bagi daerah. Pendapatan asli daerah (PAD) bisa meningkat drastis, terutama jika Aceh mampu mengelola hasil bumi secara mandiri melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau kerja sama dengan BUMN dan investor asing.

Tak hanya itu, keberadaan industri migas juga diyakini akan menciptakan lapangan kerja baru, membangkitkan infrastruktur penunjang seperti pelabuhan, perumahan, fasilitas logistik, dan layanan pendukung lainnya. Efek domino ini diyakini dapat mengangkat perekonomian kawasan yang selama ini tertinggal dari provinsi-provinsi lain di Sumatera.

Sengketa Batas Wilayah: Masalah Lama yang Kembali Muncul

Asal Mula Sengketa

Polemik batas wilayah ini bukan hal baru. Sejak pemekaran provinsi dan kabupaten pada era reformasi, berbagai wilayah di Indonesia mengalami ketidakjelasan batas administratif. Salah satu faktor utama adalah tidak sinkronnya antara peta yang digunakan oleh pemerintah daerah dengan peta resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri.

Dalam kasus empat pulau ini, tampaknya terjadi perubahan peta administratif yang belum disosialisasikan secara menyeluruh, sehingga memunculkan reaksi keras dari pihak Aceh. Pemerintah Aceh mengklaim tidak pernah dilibatkan dalam proses revisi batas wilayah dan peta yang baru dikeluarkan tersebut.

Jalur Penyelesaian

Pemerintah Aceh mengisyaratkan akan membawa masalah ini ke meja Kementerian Dalam Negeri untuk dilakukan mediasi ulang. Selain itu, mereka juga membuka kemungkinan membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi jika upaya administratif tidak membuahkan hasil.

Sementara itu, dari pihak Sumatera Utara, pejabat Tapanuli Tengah menyatakan bahwa mereka hanya mengikuti peta resmi dari pemerintah pusat dan tidak memiliki niat memperluas wilayah secara sepihak.

“Kita hanya mengikuti regulasi. Kalau memang ada yang merasa keberatan, mari kita duduk bersama. Ini bukan soal menang-kalah,” ujar seorang pejabat Tapanuli Tengah.

Suara Masyarakat dan Tokoh Daerah

Tokoh Masyarakat Aceh: “Pulau Itu Milik Kami!”

Masyarakat Aceh Singkil secara konsisten menyuarakan bahwa mereka tidak hanya memiliki ikatan geografis, tetapi juga emosional dan historis dengan keempat pulau tersebut. Beberapa tokoh adat bahkan menyebutkan bahwa ada makam leluhur dan situs budaya yang berada di kawasan itu, menandakan keterikatan sejarah yang kuat.

“Sudah ratusan tahun masyarakat kami pergi melaut ke sana. Bahkan ada acara adat tahunan yang digelar di pulau tersebut,” ujar Tgk. Ilyas, tokoh adat Singkil.

Para tokoh agama dan masyarakat adat meminta agar pemerintah pusat tidak hanya mempertimbangkan aspek administratif, tetapi juga aspek sosial dan budaya dalam menyelesaikan persoalan ini.

Nelayan dan Dampak Langsung

Bagi nelayan, perubahan status administratif bisa berarti kehilangan hak akses atas zona tangkapan ikan. Jika keempat pulau resmi dimasukkan ke Sumatera Utara, maka akan ada pembatasan wilayah tangkap, izin operasi kapal, dan potensi konflik antar nelayan.

“Selama ini kami aman mencari ikan di sana. Kalau tiba-tiba berubah, kami harus urus izin baru, belum lagi risiko ditangkap jika dianggap melanggar,” keluh Sulaiman, nelayan Aceh Singkil.

Dimensi Strategis: Keamanan dan Geopolitik

Posisi Geografis yang Strategis

Keempat pulau tersebut berada di wilayah perbatasan barat Indonesia yang berbatasan langsung dengan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Samudera Hindia. Ini menjadikan wilayah tersebut strategis dari sudut pandang pertahanan dan keamanan nasional.

Kehadiran potensi migas menambah nilai strategis kawasan tersebut. Tidak heran jika pemerintah pusat sangat berhati-hati dalam menyikapi polemik ini, karena menyangkut kedaulatan, energi, dan stabilitas kawasan.

Peran TNI dan Pengawasan Wilayah

TNI Angkatan Laut dikabarkan terus memantau situasi di kawasan tersebut. Sumber militer menyebutkan bahwa keempat pulau itu merupakan bagian dari jalur patroli rutin yang dilakukan oleh KRI dalam pengawasan wilayah barat Indonesia.

“Wilayah itu rawan penyelundupan, pelanggaran batas laut, dan kegiatan ilegal lainnya. Jadi harus terus dijaga,” ungkap seorang perwira TNI AL yang tidak mau disebutkan namanya.

Langkah Pemerintah Pusat: Menimbang Kepentingan Semua Pihak

Pernyataan Kementerian Dalam Negeri

Kementerian Dalam Negeri belum memberikan pernyataan resmi terkait perubahan status administratif pulau-pulau tersebut. Namun, sumber dari internal Kemendagri menyebutkan bahwa peta wilayah yang menjadi dasar polemik sedang dalam tahap revisi ulang karena banyak menerima masukan dari daerah.

“Kami akan undang kedua belah pihak, Aceh dan Sumut, untuk menyampaikan argumen dan dokumen masing-masing. Tujuannya adalah mencari solusi bersama,” ungkap pejabat di Direktorat Toponimi dan Batas Wilayah.

Presiden Diharapkan Turun Tangan

Beberapa anggota DPR dan DPD dari Aceh mulai menyerukan agar Presiden Joko Widodo turun tangan menyelesaikan persoalan ini. Mereka khawatir jika dibiarkan terlalu lama, persoalan ini bisa memicu gesekan horizontal dan berdampak pada stabilitas daerah.

“Presiden harus memediasi langsung. Ini bukan konflik biasa, tapi menyangkut harga diri dan potensi besar masa depan Aceh,” kata anggota DPD RI asal Aceh.

Penutup: Kepentingan Energi dan Kedaulatan Wilayah

Isu kepemilikan empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara bukan sekadar persoalan peta. Di baliknya tersembunyi kepentingan besar menyangkut potensi migas yang disebut setara dengan wilayah Andaman. Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, telah memberi sinyal bahwa Aceh tidak akan mundur dan akan memperjuangkan hak atas wilayah yang diyakini strategis dari sisi energi dan ekonomi.

Masyarakat menanti penyelesaian adil dari pemerintah pusat. Apakah suara rakyat, sejarah, dan potensi masa depan akan menjadi pertimbangan utama? Ataukah keputusan administratif semata akan menjadi satu-satunya dasar kebijakan?

Yang pasti, polemik ini telah membuka mata publik bahwa di balik pulau kecil, tersimpan persoalan besar: antara kedaulatan, energi, dan keadilan.

Exit mobile version