Ekonom Paramadina: Diskon Transportasi-BSU Konsepnya “Tangan di Atas”, Buat Rakyat Ketergantungan
Ekonom Paramadina – Program bantuan sosial (bansos) dan subsidi pemerintah seperti diskon transportasi serta Bantuan Subsidi Upah (BSU) telah menjadi topik yang semakin sering dibahas dalam ruang publik, terutama menjelang tahun-tahun politik atau ketika tekanan ekonomi meningkat. Namun, tidak semua kalangan menyambut program-program ini dengan tangan terbuka. Salah satu kritik datang dari Ekonom Universitas Paramadina, yang menyebut bahwa kebijakan semacam ini justru bisa menciptakan ketergantungan masyarakat kepada negara. Konsep yang diangkat disebut sebagai “tangan di atas”, yang secara filosofis merujuk pada posisi pemberi, bukan penerima.

H2: Kritik Terhadap Pola Pemberian Bantuan
Pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir gencar meluncurkan berbagai bentuk bantuan sosial kepada masyarakat. Mulai dari program bantuan langsung tunai (BLT), BSU, diskon transportasi umum, hingga program kartu prakerja. Meski ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan menjaga konsumsi rumah tangga, sebagian ekonom menganggap bahwa kebijakan ini belum menyentuh akar permasalahan ekonomi nasional.
H3: “Tangan di Atas” dan Ketergantungan Masyarakat
Ekonom Paramadina, dalam wawancara dengan media, menilai bahwa konsep bantuan seperti BSU dan subsidi transportasi bersifat temporer dan konsumtif. Ia menyebut bahwa dengan terus-menerus memberikan bantuan tanpa disertai peningkatan produktivitas masyarakat, negara justru sedang menciptakan ketergantungan struktural.
“Kalau rakyat terus diberi bantuan tanpa didorong untuk mandiri, ini bukan empowerment, tapi charity yang berkelanjutan. Konsepnya ‘tangan di atas’, dalam artian negara terus memberi, rakyat terus menerima. Akhirnya mentalitas masyarakat terbangun untuk menunggu, bukan mencipta,” jelasnya.
Hal ini, menurutnya, berbeda dengan pendekatan pembangunan berbasis partisipasi dan pemberdayaan. Bantuan yang hanya bersifat jangka pendek tidak akan mampu memperbaiki kondisi struktural ekonomi masyarakat, apalagi jika tidak dibarengi dengan pendidikan keterampilan atau pembukaan lapangan kerja yang memadai.
H2: Efektivitas Program Subsidi Dipertanyakan
Banyak program subsidi yang diluncurkan dengan niat baik, namun evaluasi terhadap efektivitasnya masih lemah. Apakah benar program seperti BSU dan diskon transportasi telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan?
H3: Dampak Sementara Tanpa Perubahan Fundamental
Menurut kajian yang dilakukan oleh beberapa lembaga riset independen, program subsidi hanya memberikan dampak ekonomi dalam jangka pendek. BSU, misalnya, memang mampu meningkatkan daya beli pekerja secara instan. Namun, tanpa adanya kenaikan produktivitas atau kepastian kerja jangka panjang, maka pekerja hanya akan kembali dalam situasi rentan setelah dana bantuan habis.
Demikian pula dengan diskon transportasi, yang dianggap lebih menguntungkan masyarakat perkotaan dibandingkan warga di pedesaan. Ketimpangan akses dan efektivitas penggunaan subsidi ini menjadi perhatian para pengamat.
“Transportasi publik yang diberi diskon mungkin bagus untuk Jakarta dan kota besar. Tapi bagaimana dengan pekerja informal di daerah pelosok yang tidak punya akses ke moda transportasi itu? Kebijakan ini sering kali bias kota,” tambah ekonom Paramadina tersebut.
H3: Efek Psikologis dari Ketergantungan Bantuan
Selain dari sisi ekonomi, bantuan yang terus-menerus juga berdampak pada psikologi sosial masyarakat. Mentalitas menunggu bantuan berpotensi mengurangi semangat kerja keras dan inovasi. Masyarakat akan terbiasa bergantung kepada pemerintah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang pada akhirnya bisa melemahkan daya saing bangsa.
“Kita tidak bisa membangun negara besar dengan masyarakat yang selalu menengadah. Kita butuh rakyat yang bisa berdiri di atas kaki sendiri,” ujarnya.

H2: Alternatif Kebijakan: Mendorong Kemandirian Ekonomi
Daripada mengandalkan bantuan langsung, para ekonom menyarankan pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan. Fokusnya adalah pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan ekonomi lokal.
H3: Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan
Pemerintah didorong untuk lebih banyak mengalokasikan anggaran ke sektor pendidikan dan pelatihan keterampilan. Dengan demikian, masyarakat bisa meningkatkan kapasitasnya sendiri dan menjadi lebih produktif. Program pelatihan kerja yang terintegrasi dengan kebutuhan industri akan lebih efektif dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat ketimbang bantuan langsung.
“Kita perlu menciptakan ekosistem ekonomi yang membuat masyarakat bisa mencari makan sendiri, bukan terus diberi ikan. Ajari mereka memancing, dan berikan alatnya,” tegas sang ekonom.
H3: Dukungan untuk UMKM dan Ekonomi Lokal
Pendekatan lainnya adalah dengan memperkuat sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dengan memberikan insentif fiskal, akses modal, dan pelatihan manajerial, pemerintah bisa membantu menciptakan lapangan kerja baru yang lebih berkelanjutan.
UMKM terbukti sebagai tulang punggung ekonomi nasional, menyerap hingga lebih dari 90% tenaga kerja di Indonesia. Namun mereka masih menghadapi banyak kendala, mulai dari akses pembiayaan, perizinan, hingga pasar. Kebijakan yang fokus pada penguatan UMKM akan lebih berdampak dalam jangka panjang ketimbang bantuan yang habis dalam hitungan minggu.
H2: Perlu Perubahan Paradigma dalam Perumusan Kebijakan
Kritik dari Ekonom Paramadina ini tidak serta-merta menolak bantuan sosial. Namun, ia lebih menekankan pentingnya perubahan paradigma dalam merancang kebijakan publik.
H3: Dari Bantuan ke Pemberdayaan
Bantuan sosial seharusnya hanya bersifat sementara dan darurat. Dalam jangka panjang, kebijakan harus beralih ke pemberdayaan. Pemerintah perlu merancang program yang tidak hanya menjawab kebutuhan saat ini, tetapi juga mempersiapkan masyarakat menghadapi tantangan masa depan.
“Kita butuh kebijakan yang tidak hanya populis, tapi transformatif. Bantuan yang memperkuat martabat rakyat, bukan yang membuat mereka pasif,” ucapnya.

H3: Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Kebijakan
Pemerintah juga diharapkan lebih melibatkan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan. Dengan pendekatan partisipatif, kebijakan bisa lebih tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan. Selain itu, masyarakat juga akan merasa memiliki program-program yang dijalankan, bukan sekadar menjadi objek kebijakan.
H2: Menimbang Ulang Peran Negara
Negara memang memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya, terutama di masa krisis. Namun peran tersebut perlu dijalankan dengan pendekatan yang membangun kemandirian, bukan sekadar memberi.
“Negara tidak boleh jadi dermawan abadi. Negara harus jadi fasilitator pembangunan kapasitas rakyat. Kalau rakyat kuat, negara akan otomatis kuat,” tutup ekonom Paramadina itu.